Stay in touch
Subscribe to our RSS!
Oh c'mon
Bookmark us!
Have a question?
Get an answer!

Feature Title‎ 1

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat... Read More

Feature Title‎ 2

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat... Read More

Feature Title‎ 3

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat... Read More

Feature Title‎ 4

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat... Read More

Feature Title‎ 5

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat... Read More

ranika

0 komentar
IDENTITAS BUKU
Judul Buku : Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan
Karya : Wiji Suwarno
Editor : Ilyya Muhsin
Proofreader : Aziz Safa
Design Cover : TriAT
Design Isi : noorzed
Penerbit : AR-RUZZ MEDIA
Jl. Anggrek 126 Sambilegi, Maguwoharjo,
Depok, Sleman, Jogjakarta 488132
Telp./Fax.: (0274) 488132
ISBN : 979-25-4371-6
Cetakan IV, 2013
Dicetak Oleh:
AR-RUZZ MEDIA
Telp./Fax.: (0274) 488132
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Suwarno, Wiji
Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan/ Wiji Suwarno-Jogjakarta : Ar-
Ruzz Media,2013
176 hlm, 12 x 19 cm
ISBN : 979-25-4371-6
I. Pendidikan
I. Judul II. Wiji Suwarno

BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Pendidikan
Kata pendidikan memiliki banyak sekali pengertian, baik itu pandangan dari para tokoh pendidikan, menurut kamus besar bahasa Indonesia, maupun pendapat orang awam mengenai pendidikan. Walaupun pendidikan memiliki banyak pengertian yang berbeda, pendidikan tetap terus berjalan tanpa menunggu keberagaman arti.
Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, Peadagogy yang artinya seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar seorang pelayan. Sedangkan Paedagogos artinya pelayan. Pendidikan dalam bahasa Romawi adalah educate yang artinya mengeluarkan sesuatu yang ada di dalam. Sedangkan dalam bahasa inggris, istilah pendidikan adalah to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual.(Noeng Muhadjir, 2000:
20-21). Menurut George F. Kneller (1967 : 63), pendidikan dalam arti luas adalah tindakan atau pengalaman memengaruhi perkembangan jiwa, watak, maupun kemampuan fisik individu. Sedangkan dalam arti sempit pendidikan adalah suatu proses mentransformasikan pengetahuan, nilai-nilai, dan ketrampilan dari generasi ke generasi, yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan tinggi, atau lembaga pendidikan lain. Secara singkatnya Driyarkara (1945 : 145) berpendapat bahwa pendidikan adalah pemanusiaan manusia muda. Pada dasarnya pendidikan adalah pengembangan manusia muda ke taraf insani. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara (1977 : 20), pendidikan merupakan tuntutan bagi pertumbuhan anak-anak. Artinya pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anak-anak, agar mereka sebagai manusia sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Dari ketiga pengertian di atas, penulis berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk meningkatkan derajatnya dan menumbuhkembangkan potensi baik fisik maupun mental yang telah ada guna terciptanya citra dan nilai yang pada nantinya akan sangat berguna dalam masyarakat.
B. Ilmu Pendidikan Sebagai Disiplin Ilmu
Pendidikan merupakan usaha manusia, sedangkan ilmu adalah hasil dari proses usaha manusia itu sendiri. Menurut Driyarkara (1980 : 66-67) Ilmu pendidikan adalah pemikiran ilmiah, yakni pemikiran yang bersifat kritis, memiliki metode dan tersusun secara sistematis tentang pendidikan. Sedangkan menurut Imam Barnadib (187 : 7) Ilmu pendidikan adalah ilmu yang membicarakan masalah-masalah umum pendidikan secara manyeluruh dan abstrak.
Dari kedua pendapat mengenai pengertian ilmu pendidikan diatas dapat disimpulkan bahwa ilmu pendidikan adalah ilmu yang membahas fenomena-fenomena pendidikan dalam perspektif luas dan integratif. Dalam perspektif luas, pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia agar manjadi manusia yang sebenarnya manusia. Dalam arti integratif, pendidikan dikaji secara historis, sosiologis, dan filosofis. Upaya pendidikan mencakup seluruh aktivitas pendidikan, sekaligus pemikiran sistematisnya.
1. Ilmu Pendidikan sebagai Ilmu Normatif
Ilmu pendidikan tidak terlepas dari eksistensi manusia, dimana dalam kehidupannya manusia tidaklah terlepas dari norma (aturan). Baik itu norma filsafat dan pandangan hidup maupun norma agama.
Bangsa Yunani Kuno berpendapat bahwa manusia adalah makhluk bermain (homo ludens). Pendidikan jasmani adalah hal yang paling utama dalam bangsa tersebut. Karena dalam semboyannya bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat (mesana incorpore sano). Mengapa demikian, karena pada masa itu bangsa tersebut mengalami ketegangan dalam hal perang. Sehingga warga dipersiapkan supaya memiliki tubuh yang sehat dan kuat. Berbeda halnya dengan bangsa Eropa yang berpendapat bahwa manusia adalah makhluk berfikir (homo sapiens). Akal merupakan pangkal tolak ukur. Dengan akal manusia mendapatkan pengetahuan. Menurut pandangan John Locke menegenai pendidikan, ia lebih mementingkan pendidikan atas dasar teori tabularasa yaitu manusia dibentuk karena proses pendidikan.
Dari pandangan para ahli tersebut, bahwa nilai-nilai keyakinan yang mereka junjung tinggi dijadikan norma untuk mendidik. Dari norma tersebut terlahirlah tujuan pendidikan. Karena ilmu pendidikan diarahkan pada perbuatan yang mendidik. Sehingga terciptalah manusia yang berpengetahuan dan berbudi.
2. Ilmu Pendidikan sebagai Ilmu Teoretis dan Praktis
Pendidikan yang menghasilkan ilmu tersebut berasal dari suatu kajian mengenai objek. Untuk mendalami kajian tersebut diperlukan adanya teori (ilmu teoretis) dan untuk membuktikan kebenaran dari teori tersebut diperlukan praktik (ilmu praktis), sehingga menghasilkan kajian yang sistematis, terarah, dan empirik.
Ilmu pendidikan lahir dan berkembang setelah teori dan praktik berlangsung lama. Dalam epistemologi, suatu kawasan studi dapat dikategorikan disiplin ilmu harus memenuhi syarat seperti di bawah ini:
a. Memiliki objek material dan objek formal
Objek material adalah perilaku manusia. Sedangkan Objek formal adalah penelaahan fenomena pendidikan dalam perspektif luas dan integratif. Ada banyak ilmu yang mempelajari perilaku manusia. Jika manusia individu maka ilmu yang mempelajari adalah ilmu psikologi. Jika manusia itu dalam suatu kelompok maka ilmunya adalah sosiologi. Dan jika manusia itu berperilaku sebagai makhluk biososial (berbudaya),maka ilmu yang mempelajari adalah antropologi. Dari berbagai ilmu diatas lahirlah berbagai disiplin ilmu yang lebih spesifik, seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya. Jika disiplin ilmu yang dipelajari ada kesamaan maka diperlukan objek formal.
b. Memiliki sistematika
Secara teoretis, sistematika ilmu pendidikan dapat dibedakan ke dalam tiga tinjauan yaitu:
1) Pendidikan sebagai fenomena manusiawi.
Dalam hal ini pendidikan dilihat ketika terjadi interaksi antarkomponen (tujuan, terdidik, pendidik, alat, dan lingkungan) pendidikan dalam mencapai tujuan.
2) Pendidikan sebagai upaya sadar.
Pendidikan digunakan sebagai upaya sadar dalam mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia.
3) Pendidikan sebagai gejala manusiawi dan upaya sadar untuk mengantisipasi perkembangan sosial-budaya masa depan.
Dalam hal ini sejalan dengan pemikiran Mochtar Buchorin (1994: 81-86), bahwa ilmu pendidikan memiliki tiga dimensi :
a) Dimensi lingkungan (lembaga pendidikan)
b) Dimensi jenis persoalan (teoretis, praktis, dan struktur)
c) Dimensi ruang dan waktu (pendidikan masa lampau dan masa sekarang)
c. Memiliki metode
Menurut Soedomo (1990: 46-47), metode yang dipakai dalam ilmu pendidikan adalah :
1) Metode Normatif, yaitu metode penentuan konsep manusia yang diidealkan dalam pendidikan, menyangkut nilai baik dan buruk.
2) Metode Eksplanotori, yaitu metode untuk mengetahui kondisi yang memengaruhi proses pendidikan.
3) Metode Teknologis, yaitu metode yang berfungsi mengungkapkan cara agar berhasil mencapai tujuan.
4) Metode Deskriptif-Fenomenologis, yaitu metode untuk mengurai dan mengklarifikasi kenyataan-kenyataan pendidikan agar ditemukan hakikatnya.
5) Metode Hermeneutis, yaitu metode untuk memahami kenyataan pendidikan secara konkret dan historis agar makna dan struktur kegiatan pendidikan menjadi jelas.
6) Metode Analisis Kritis, yaitu metode yang digunakan untuk menganalisis secara kritis istilah-istilah, pernyataan-pernyataan, konsep, dan teori pendidikan.
C. Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan Nasional
1. Dasar pendidikan nasional
Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Fungsi pendidikan nasional
Yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa.
3. Tujuan pendidikan nasional
Untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
BAB II
KOMPONEN PENDIDIKAN
A. Tujuan Pendidikan
1. Tujuan pendidikan menurut jenisnya ada 4 yaitu :
a. Tujuan nasional, yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai suatu bangsa.
b. Tujuan institusional, yaitu tujuan yang ingin dicapai suatu lembaga pendidikan.
c. Tujuan kurikuler, yaitu tujuan yang ingin dicapai oleh suatu mata pelajaran tertentu.
d. Tujuan instruksional, yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu pokok atau sub-pokok bahasan tertentu.
2. Sutari Imam Barnadib (1984: 50-51), dengan merangkum pendapat Langeveld, tujuan pendidikan dibedakan menjadi :
a. Tujuan umum, adalah tujuan yang akan dicapai diakhir proses pendidikan yaitu tercapainya kedewasaan jasmani dan kedewasaan rokhani.
b. Tujuan khusus, adalah pengkhususkan tujuan umum atas dasar usia, jenis kelamin, sifat, bakat, intelegensi, sosial-budaya, tahap-tahap perkembangan, tuntutan syarat pekerjaan, dan sebagainya.
c. Tujuan tidak lengkap, adalah tujuan yang menyangkut sebagian aspek dari manusia, misalnya aspek psikologis.
d. Tujuan sementara, adalah tujuan yang sifatnya sementara. Jika tujuan tersebut telah tercapai maka tujuan itu tidak lagi dilakukan.
e. Tujuan intermediet, adalah tujuan perantara bagi tujuan lainnya yang pokok.
f. Tujuan incidental, adalah tujuan yang dicapai pada saat-saat tertentu, sifatnya seketika dan spontan.
3. Tujuan pendidikan menurut Bloom, yaitu
a. Cognitive Domain, kemampuan yang ingin dicapai setelah proses belajar-mengajar. Yang pada dasarnya tujuan ini itu ingin memahami dan bisa suatu pelajaran yang telah diajarkan.
b. Affective domain, berupa kemampuan untuk menerima, menjawab, menilai, membentuk, dan mengarakterisasi.
c. Psychomotor domain, terdiri dari kemampuan persepsi, kesiapan, dan respons terpimpin.
B. Peserta Didik
Peserta didik adalah manusia (anggota masyarakat) yang membutuhkan pendidikan guna mencapai tujuannya. Dimana tujuan manusia yang paling utama adalah agar bisa menjadi manusia yang bisa memanusiakan dirinya dan orang lain. Kemanusiaan itu tersusun dari adanya bakat dan kemampuan yang pada akhirnya meningkatkan derajat kemanusiaannya.
C. Pendidik
Pendidik adalah seseorang yang memberikan ilmu pendidikan kepada peserta didik. Disini pendidik sebagai tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pengarahan, dan sebagainya. Pada intinya pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang pendidikan dan mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
D. Alat Pendidikan
Adalah semua hal yang menjadikan pendidikan dapat berjalan. Menurut Abu Ahmadi membedakan alat pendidikan menjadi beberapa kategori:
1. Alat Pendidikan Positif dan Negatif
Alat pendidikan positif itu dapat berupa pujian dan hadiah. Dimaksudkan agar peserta didik dapat berbuat lebih baik dan meningkatkan perbuatan baiknya itu. Sedangkan alat pendidikan negatif yaitu berupa sindiran, larangan, hukuman. Dimaksudkan agar peserta didik jera akan perbuatan buruknya dan menjadi sadar untuk berbuat buruk lagi.
2. Alat Pendidikan Preventif dan Korektif
Alat pendidikan preventif berupa peringatan atau teguran. Sedangkan alat pendidikan korektif berupa hukuman, alat ini digunakan apabila alat pendidikan preventif tidak lagi mempan.
3. Alat Pendidikan yang Menyenangkan dan Tidak Menyenangkan.
Alat pendidikan menyenangkan yaitu berupa hadiah atau ganjaran. Sedangkan alat pendidikan yang tidak menyenangkan berupa hukuman atau celaan.
E. Lingkungan / Milieu Pendidikan
1. Lingkungan pendidikan keluarga
Merupakan lingkungan pendidikan nonformal yang utama dan pertama yang dialami anak. Dimana dalam lingkungan ini anak mendapatkan semua ilmu dasar manusia. Baik itu ilmu moral, agama, sosial, dan ilmu dasar lain. Dalam lingkungan ini orang tua memegang peranan penting dalam mendidik anak. Dimana anak merupakan kertas putih yang belum ada coretan apapun. Maka orang tuanyalah yang akan mengisinya dengan coretan-coretan. Apakah coretan itu indah atau buruk.
2. Lingkungan pendidikan sekolah
Merupakan lingkungan pendidikan formal yang diadakan pemerintah dalam mewujudkan tujuan nasionalnya. Sekolah disini adalah lembaga pendidikan yang berjenjang dan dibatasi usia pada masing-masing jenjang. Jenjang paling awal Taman Kanak-Kanak (TK), pendidikan ini selama 1 tahun. Namun jaman sekarang harus masuk jenjang sebelum TK yaitu PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Jenjang kedua Sekolah Dasar (SD), sekolah ini secara standar berlangsung selama 6 tahun. Jenjang ketiga Sekolah Menengah Pertama (SMP), berlangsung selama 3 tahun. Jenjang yang selanjutnya Sekolah Menengah Atas (SMA), lamanya 3 tahun. Jenjang yang berikutnya adalah Perguruan Tinggi (PT), dalam jenjang ini tergantung mengambil lamanya belajar. Ada yang 1 tahun (D1), 2 tahun (D2), 3 Tahun (D3), 4 tahun (S1), dan seterusnya. Semakin lama pendidikan semakin banyak title yang didapat.
3. Lingkungan Pendidikan Masyarakat
Lembaga pendidikan dimasyarakat yaitu pendidikan nonformal yang diadakan oleh anggota masyarakat tertentu guna maningkatkan kualitas warga dan meningkatkan kemampuan warganya dalam mencapai tujuan bersama. Dalam masyarakat biasanya berupa PKK, Karang Taruna, Koperasi, Rumah Singgah, dan lain-lain.

BAB III
ALIRAN, TEORI, dan PILAR-PILAR PENDIDIKAN
A. Aliran-Aliran Pendidikan
1. Aliran Empirisme
Aliran ini lebih memperhatikan pengaruh perkembangan seseorang kerena pengalaman yang diperoleh anak melelui hubungannya dengan lingkungan (sosial, budaya, dan alam). Dalam hal ini pendidiklah yang memegang peranan penting. Pengalaman disini yang diperoleh anak akan membentuk tingkah laku, sikap, serta watak sesuai dengan tujuan pendidikannya. Dengan kata lain, factor bawaan dari orang tua dikesampingkan. Hal inilah yang menjadikan kelemahan dalam aliran ini. Padahal potensi bawaan juga sangat mempengaruhi dalam perkembangan anak. Karena banyak anak yang berbakat berhasil walaupun lingkungan tidak mendukung.
2. Aliran Nativisme
Aliran ini berpendapat bahwa factor bawaanlah yang mempengaruhi perkembangan seorang anak. Aliran ini bertentangan dengan aliran empirisme. Oleh karena itu keberhasilan seorang anak ditentukan oleh pribadi masing-masing. Menurut aliran ini, jika seorang anak memiliki bakat jahat, maka anak itu akan menjadi jahat dan jika anak itu memiliki bakat baik maka anak itu akan menjadi baik.
Pandangan nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang terbentuk sejak manusia itu lahirke dunia yaitu daya psikologis dan fisiologis yang bersifat heredite, serta kemampuan dasar lainnya dengan kapasitasnya yang berbeda dalam diri setiap manusia.
3. Aliran Naturalisme
Faktor bawaan seorang anak akan berubah dalam perkembangannya karena pengaruh lingkungan. Dalam ini faktor kemampuan individu anak didik merupakan pusat kegiatan proses belajar-mengajar. Menurut M.Arifin dan Aminuddin R (1992 : 9) ada 3 prinsip dalam proses pembelajaran :
a. Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri.
b. Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan.
c. Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi kepada pola belajar anak didik.
4. Aliran Konvergensi
Aliran ini merupakan kombinasi aliran empiris dan nativisme. Menurut aliran ini semua anak memiliki bakat (potensi) baik itu bakat baik atau jahat, dalam perkembangannya nanti dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi faktor bawaan dan lingkungan berjalan seiring perkembangan dan sama pentingnya.
5. Aliran Progresivisme
Aliran ini berpendapat bahwa manusia memiliki kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah yang bersifat menekan dan berat. Dalam hal ini setiap masalah yang dihadapi dan pada saat menyelesaikannya belajar pada masalah yang sebelumnya dialaminya.
6. Aliran Esensialisme
Aliran ini berpendapat bahwa pendidikan harus bersendikan nilai-nilai norma yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup, sehingga mendapat mencapai kebahagiaan. Jadi aliran esensialisme menghendaki adanya nilai-nilai esensial yang telah teruji oleh waktu , bersifat menuntun, dan turun temurun.
7. Aliran Perenialisme
Aliran ini berpandangan bahwa kepercayaan aksiomatis zaman kuno abad pertengahan menjadi dasar pendidikan. Jadi anak didik dituntut untuk bisa berfikir sejak dini.
8. Aliran Konstruktivisme
Dalam aliran ini pengetahuan merupakan interaksi yang berkelanjutan antara satu individu dengan individu lainnya. Pengetahuan merupakan suatu proses. Dimana pengetahuan itu dicari dan ditangkap oleh panca indra (pemahaman).
B. Teori-Teori Pendidikan
1. Teori koneksionisme
Dalam teori ini asosiasi yang menjadi dasar belajar yaitu stimulus dan respons. Stimulus akan memberikan kesan kepada pancaindra, sedangkan respon akan mendorong seseorang melakukan tindakan. Sebagai contoh, seekor kucing di pancing menggunakan ikan asin (sebagai stimulus), lalu kucing tersebut mulai mendatangi tempat dimana ikan asin itu diletakkan (respon) maka secara otomatis kucing tersebut akan memakan ikan tersebut.
2. Teori Classical Conditioning
Prinsip belajar dalam teori yang dikemukaan oleh Pavlor (tokoh) adalah sebagai berikut :
a. Belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan/ mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang lebih kurang dengan perangsang yang lebih lemah.
b. Proses belajar terjadi apabila adanya interaksi antar organisme/ individu.
c. Belajar adalah membuat perubahan-perubahan pada organism/ individu.
d. Setiap perangsang akan menimbulkan aktivitas otak.
e. Semua aktivitas susunan saraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibitas.
3. Teori Operant Conditioning
Teori ini membedakan tingkah laku responden yaitu tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus yang jelas.Operant Behavior adalah tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus yang belum diketahui, namun semata-mata ditimbulkan oleh organism itu sendiri, namun semata-mata ditimbulkan oleh stimulus dari luar. Sebagai contoh kucing mondar-mandir kesana kemari karena lapar, bukan karena melihat daging.
Dari tingkah laku kucing yang diteliti dapat dibedakan menjadi dua macam kondisi yaitu :
a. Respons Conditioning. Kondisi ini disebut titik S, karena menitikberatkan pada stimulus. (Sama dengan teori Pavlov)
b. Operant Conditioning. Kondisi ini disebut dengan titik R, karena manitikberatkan pada pentingnya respons.
4. Teori Gestalt
Menurut teori ini masalah adalah stimulus, sedangkan pemecahan suatu masalah adalah respons. Dimana jika suatu organisasi mengalami suatu problem, maka ia akan mencari keseimbangan mental sebagai respons dalam mencari pemecahan dalam problem tersebut. Sebagai contoh, kurikulum pendidikan jaman sekarang menggunakan teori ini. Bahwa peserta didik akan belajar secara alamiah, dimana belajar itu merupakan suatu hal yang tidak menjenuhkan, melainkan menarik. Dalam teori ini kemampuan dalam berbahasa (membaca dan menulis) merupakan hal sangat berpengaruh dalam penerapan teori ini.
5. Teori Medan (Field Theory)
Lingkungan merupakan gejala yang saling mempengaruhi. Dimana perubahan seseorang bisa merubah hasil keseluruhan. Sebagai contoh, dalam suatu ujian ia telah belajar dan mempersiapkan semuanya dengan baik. Namun karena suatu hal, ia sangat marah dan kemudian mempengaruhi persiapan belajarnya semalam, dan membuat semua itu buyar dalam waktu tersebut. Namun pada waktu lain ia akan kembali seperti semula (faktor Psikologis). Penerapan teori medan dalam proses belajar mengajar :
a. Belajar adalah perubahan struktur kognitif (pegetahuan)
b. Peranan hadiah dan hukuman.
c. Masalah sukses dan gagal
d. Taraf Aspirasi (merumuskan tujuan sementara)
e. Pengulangan dapat menimbulkan kejenuhan psikologis.
6. Teori Humanistik
Dalam proses pembelajaran, menurut psikologi humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi baru, informasi itu dipersonalisasikan kedalam dirinya. Pendidik sangat salah jika beranggapan bahwa siswa akan menangkap pembelajaran dengan mudah, jika bahan ajar tersusun dengan rapi dan disampaikan dengan baik. Namun pendidik harus mengarahkan dan membantu siswa agar bisa memetik arti dan makna yang terkandung dalam bahan ajar tersebut.
C. Pilar-Pilar Pendidikan
Ada 6 pilar-pilar pendidikan yang direkomendasikan oleh UNESCO yang dapat digunakan dalam prinsip pembelajaran yaitu :
1. Learning to Know
Learning to Know , kita tidak hanya sebatas mengetahuidan memiliki materi informasi yang sebanyak-banyaknya, selalu mengingatnya, namun juga kemampuan dalam memahami makna di balik materi tersebut. Dalam hal ini kemampuan melihat peluanglah yang dapat mengembangkan pendekatan ilmiah tidak hanya secara logika empirisme namun juga pada transendental (berkaitan dengan nilai spiritual).
2. Learning to Do
Learning to Do adalah konsekuensi dari Learning to Know. Pilar pendidikan ini memiliki kelemahan dalam proses pembelajaran yaitu hanya berdasarkan teori saja tanpa pengaplikasian pada praktik. Learning to Dobukanlah kemampuan berbuat mekanis, pertukangan tanpa pemikiran. Namun disini siswa dituntut agar dapat mengembangkan teori yang didapat, sehingga memperbaiki dan menumbuhkembangkan kinerja siswa.
3. Learning to Be
Learning to Be merupakan pelengkap dari Learning to Know dan Learning to Do. Peserta didik dituntut agar bisa menjadi ilmuwan agar bisa menggali sendiri dan menentukan nilai-nilai kehidupannya dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil pembelajaran.
4. Learning to Live Together
Menuntut seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi educated person, yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.
5. Learning How to Learn
Learning How to Learn membawa peserta didik pada kemampuan dalam strategi dan kiat belajar yang lebih kreatif, efektif, efisien,dan lebih baik lagi. Dalam point yang ini lebih ditekankan pada bagaimana mencari metode baru dalam pembelajaran agar pemahaman lebih mudah.
6. Learning Throughout Life
Learning Throughout Life menuntun dan memberika pencerahan kepada siswa bahwa ilmu bukanlah hasil buatan manusia melainkan hasil pencarian manusia. Dimana ilmu adalah ilmu Tuhan yang tak terbatas dan harus terus dicari. Dalam hal menuntut ilmu, ada sebuah pepatah bahwa Carilah ilmu dari kandungan ibumu sampai keliang lahat. Itu berarti tak ada kata berhenti dalam hal manuntut ilmu.
BAB IV
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
A. Pengertian Kompetensi dan Kurikulum Berbasis Kompentensi (KBK)
Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, nilai, sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Dalam hal ini kompetensi menyangkut tugas, ketrampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan.
Kurikulum berbasis Kompetensi (KBK) adalah sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan yaitu berupa keberhasilan dalam penguasaan dan keberhasilan yang penuh tanggung jawab.
B. Karakteristik Kurikulum Berbasis Kompentensi (KBK)
Departemen Pendidikan Nasional memberikan rambu-rambu bahwa KBK memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya pengajar, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsure edukatif.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
C. Asumsi Kurikulum Berbasis Kompentensi (KBK)
Dalam KBK, asumsi adalah parameter untuk menentukan tujuan dan kompetensi yang akan dispesifikasikan. Ada 7 asumsi yang mendasari KBK yaitu :
1. Peningkatan kemampuan profesional seorang pendidik.
2. Penyampaian materi harus dari banyak sumber informasi.
3. Pengembangan potensi dengan menghubungkan kemampuan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.
4. Pengembangan potensi dan menghubungkan kemampuan tersebut dengan situasi baru.
5. Pengajar harus telaten dan tekun, penuh kasih sayang dan perhatian dalam mengajar peserta didik.
6. Mengembangkan ketrampilan peserta didik yang dapat diterapkan dalam kahidupan.
7. Pendidik memberikan arahan agar siswa dapat menemukan ide dan strategi belajar sesuai dengan kemampuan belajar dan kecepatan pemahaman masing-masing.
D. Keunggulan Kurikulum Berbasis Kompentensi (KBK)
KBK memiliki keunggulan dibanding dengan model model lainya yaitu :
1. Menempatkan peserta didik sebagai subyek pembelajaran dan proses pembelajaran berlangsung secara alamiah.
2. Kompetensi sebagai dasar dalam kemampuan-kemampuan lain.
3. Pendekatan kompetensi yang sesuai meteri pembelajaran.

BAB V
PENILAIAN BERBASIS KELAS
A. Pengertian dan Tujuan
Penilaian Berbasis Kelas (PBK) adalah proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian, pelaksanaan berkelanjutan, bukti-bukti otentik, akuran dan konsisten sebagai akuntabilitas publik. PBK secara umum bertujuan untuk memberikan penghargaan terhadap pencapaian belajar peserta didik dan memperbaiki program dan kegiatan pembelajaran. Dalam hal ini PBK atau yang kita kenal sekarang dengan sebutan Buku Rapor.
B. Fungsi PBK
Fungsi PBK untuk peserta didik :
1. Membantu dalam mengembangkan dan mengubah perilaku kearah yang lebih baik.
2. Membantu peserta didik mendapat kepuasan atas apa yang didapatkannya.
3. Membantu sisiwa apakah metode belajar yang digunakan telah tepat dan benar atau tidak.
4. Membantu pendidik dalam pengembangan dan keputusan administrasi.
C. Prinsip-Prinsip PBK
Prinsip-prinsip PBK adalah:
1. Berorientasi pada kompetensi
2. Mengacu pada patokan
3. Ketuntasan belajar
4. Menggunakan berbagai cara dalam memantau kemajuan belajar siswa.
D. Penilaian (Pengujian) Kompetensi pada KBK
Sistem pengujian pada KBK adalah berkelanjutan. Dalam arti semua komponen indikator (gejala, perbuatan, atau respons) dihubungkan pada soalnya dan hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dan belum dimiliki serta kesulitan peserta didik. Soal yang digunakan dalam ujian diharapkan dapat mengukur aspek kognitif (kecerdasan otak), afektif (sikap dan minat), dan psikomotorik (ketrampilan).
E. Jenis Tagihan / Jenis Ujian
1. Kuis atau Ujian Singkat
Kuis merupakan ujian singkat, yang menanyakan hal-hal yang pernah dipelajari sebelumnya. Jika peserta didik gagal, maka harus mengulang meteri sebelumnya terlebih dahulu.
2. Ulangan Harian atau Ulangan Formatif
Ulangan ini dilakukan setelah selesainya satu atau beberapa pokok bahasan, dan soalnya harus bervariatif.
3. Tugas
Ada dua jenis tugas jika dilihat dari jumlah peserta didik yaitu tugas individu (tugas untuk masing-masing individu) dan tugas kelompok (tugas untuk lebih dari 1 individu). Dilihat dari tempat pengerjaan tugasnya, dibedakan dua jenis tugas yaitu tugas rumah (PR) dan tugas sekolah.
4. Ulangan Semester / Ujian Semester
Ulangan ini disusun berdasarkan kisi-kisi soal. Bentuk soalnya berupa pilihan ganda dan uraian yang dilakukan pada akhir semester.
5. Ulangan Kenaikan Kelas
Ulangan ini dilakukan guna sebagai tolak ukur kenaikan kelas.
F. Bentuk Soal
Bentuk soal dapat dibedakan sesuai ranah (wilayah) :
1. Ranah Kognitif
a. Pertanyaan Lisan, biasanya berupa interview.
b. Tes Objektif yaitu tes yang biasanya berupa pilihan ganda.
c. Soal Uraian
d. Soal Terbuka, yaitu tes / soal yang memiliki lebih dari satu jawaban.
2. Ranah Afektif
Dalam ranah afektif ada dua komponen penting untuk diukur yaitu:
a. Minat
b. Sikap
3. Ranah Psikomotorik
1. Tes tertulis (paper and pencil test)
2. Tes Identifikasi (identification test)
3. Tes Simulasi (Simulation Test)
4. Tes Contoh Kerja (work sample)
G. Ciri-Ciri Tes yang Baik
Menurut Suharsini Arikunto (1997 : 51-61) suatu tes sebagai alat ukur yang baik harus memiliki :
1. Validitas
Tes tersebut dapat mengukur dengan tepat. Misalnya,Soal yang dibuat sesuai dengan kurikulum yang berlaku pada waktu tersebut.
2. Reliabilitas
Tes yang dapat dipercaya atau tidak meragukan dan sebuah ketepatan.
3. Objektivitas
Tidak mengandung unsur pribadi. Pada pemberian skor saat penilaian tidak ada unsur pribadi.
4. Praktikabilitas
Tes yang bersifat praktis. Artinya mudah dilaksanakan, mudah pemeriksaannya, dan dilengkapi dengan petunjuk yang jelas juga mudah dalam membuat administrasinya.
5. Ekonomis
Tidak membutuhkan biaya yang mahal.
H. Teknik Penulisan Soal Bentuk Pilihan Ganda
Soal bentuk pilihan ganda adalah soal yang jawabannya harus memilih salah satu dari beberapa kemungkinan pilihan jawaban yang disediakan. Pilihan jawaban adalah kunci jawaban dan pengecoh (distractor). Kunci jawaban merupakan jawaban yang benar, namun memungkinkan seseorang memeilihnya apabila tidak menguasai bahannya. Keunggulan soal bentuk ini adalah mudah, cepat, dan objektif serta dapat mencakup ruang lingkup pembahasan yang luas. Kekurangannya adalah memerlukan waktu lama dalam penulisan soalnya, sulit membuat pengecoh yang bersifat homogen,dan berfungsi dengan baik serta ada peluang untuk menebak kuncinya.
1. Kaidah penulisan soal
Kaidah penulisan soal adalah pedoman atau petunjuk yang perlu didikuti penulis agar soal yang dihasilkan memiliki mutu yang baik. Kaidah penulisan soal yang dimaksud mencakup materi, konstruksi, dan bahasa.
2. Contoh penulisan soal bentuk pilihan ganda
a. Rumusan soal harus sesuai dengan indikator yang terdapat pada kisi-kisi.
b. Pengecohan harus berfungsi.
c. Hanya satu kunci jawaban yang paling tepat.
d. Rumusan pokok soal jangan memberi petunjuk ke kunci jawaban.
e. Pokok soal jangan menggunakan pernyataan yang bersifat negatif ganda.
f. Pilihan jawaban harus homogen dan logis
g. Panjang rumusan pilihan jawaban relatif sama.
h. Pilihan jawaban yang berbentuk angka atau waktu harus disusun berdasarkan urutan besar kecilnya nilai angka tersebut, atau kronologis waktunya.
i. Butir soal jangan tergantung pada jawaban soal sebelumnya.
j. Soal menggunakan bahasa yang sesuai EYD (kaidah bahasa indonesia yang baik dan benar).
k. Soal menggunakan bahasa yang komunikatif.
l. Soal jangan menggunakan bahasa yang berlaku setempat.
m. Pilihan jawaban tidak mengulang kata atau kelompok kata yang sama.
I. Analisis Bentuk Soal
Analisis bentuk soal adalah langkah yang harus dilakukan oleh pengembang tes. Tujuannya adalah menguji mutu soal dan untuk mengetahui karakteristik perangkat soal. Jenis analisis bentuk soal ada dua yaitu :
1. Analisis soal secara kualitatif
Merupakan analisis soal dari segi materi, konstruksi dan bahasa. Dari analisis itu dapat ditentukan apakah tes tersebut perlu perbaikan (revisi) atau jelek (dibuang). Analisis ini dilakukan oleh penialaian para ahli.
2. Analisis soal secara kuantitatif
Analisis soal dari skor yang diperoleh peserta didik dalam menjawab soal-soal yang diberikan. Maka pada analisis ini diperoleh tingkat kesukaran soal, daya pembeda, dan distraktor (pengecoh).
J. Tingkat Kesukaran Soal
Tingkat kesukaran didefinisikan sebagai proporsi peserta tes yang menjawab benar suatu soal pada tingkat kemampuan tertentu yang biasanya dinyatakan dalam bentuk indeks. Kriteria penafsiran kesukaran soal adalah :
Indeks kesukaran (P)
Penilaian Soal
P < 0,30
0,30 < P < 0,70
P > 70
Soal sukar
Soal sedang
Soal mudah
Untuk menghitung tingkat kesukaran soal digunakan rumus :

P = B : Js

Keterangan : P = Indeks
B = Banyaknya peserta tes yang menjawab soal bena.
JS = Banyaknya seluruh peserta tes.
K. Daya Pembeda Soal
Daya pembeda soal merupakan kemampuan soal untuk membedakan antara peserta tes yang mampu dengan peserta yang kurang mampu dalam mengerjakan soal. Fungsinya yaitu mendeteksi pembedaan individu yang sekecil-kecilnya diantara peserta tes, yang sejalan dengan fungsi dan tujuan tes sendiri. Semakin tinggi indeks daya pembeda semakin mampu soal tersebut mampu membedakan peserta didik yang pandai dengan yang kurang pandai. Kriteria daya pembeda soal yaitu :
Indeks daya pembeda (D)
Penafsiran
D > 0,70
0,40 < D < 0,70
0,20 < D < 0,40
D < 0,20
Baik sekali (exellent)
Baik (good)
Cukup (satisfactory), soal perlu direvisi
Jelek (poor), sebaiknya dibuang
Untuk menghitung daya pembeda soal, langkah yang perlu dilakukan adalah :
1. Menghitung urutan skor dari skor tertinggi (skor siswa) ke skor yang terendah, sehingga dapat dikelompokan menjadi kelompok atas dan bawah.
2. Jika jumlah peserta tes banyak (N > 40), dapat diambil sebagian dari kelompok atas dan bawah masing-masing 27 %, sehingga lebih memudahkan perhitungan.
3. Menghitung jawaban benar dari kelompok atas dan bawah.
4. Menghitung daya pembeda (D), digunakan rumus :

D = (Ba : Ja) - (Bb : Jb) = Pa - Pb

Keterangan :
Ba = Banyaknya peserta kelompok tes yang menjawab soal dengan benar.
Bb = Banyaknya peserta kelompok tes bawah yang menjawab soal benar
J = Banyaknya peserta tes
Ja = Banyak peserta kelompok atas
Jb = Banyak peserta kelompok bawah
Pa = Proporsi kelompok peserta tes kelompok atas yang menjawab dengan benar.
Pb = Proporsi kelompok peserta tes kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar.
L. Distraktor (Pengecoh)
Fungsi distraktor dalam soal objektif ganda dengan menggunakan criteria :
1. Ditinjau dari banyak pemilih. Pengecoh berfungsi jika dipilih peserta tes :
a. Paling sedikit 3% untuk butir soal dengan pilihan jawaban 5.
b. Paling sedikit 5% untuk butir soal dengan 4 pilihan jawaban.
2. Ditinjau dari pemilih pengecoh pada kelompok atas dan kelompok bawah:
a. Pengecoh berfungsi efektif jika Na < Nb
b. Pengecoh tak berfungsi jika Na = Nb
c. Pengecoh menyesatkan jika Na > Nb
M. Teknik Analisis dan Interpretasi Butir Soal
Setelah soal ditemukan daya pembeda dan distraktor dari butir soal, selanjutnya disusun, dianalisis dan diinterpretaikan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menghubungi kepala sekolah / pendidik SDuntuk meminjam tes matematika dan lembar jawaban yang telah diisi peserta didik.
2. Memeriksa dan menabulasikan jawaban peserta didik.
3. Mengurutkan jawaban peserta didik dari skor tertinggi dan skor terendah.
4. Menetapkan 27% peserta didik sebagai kelompok atas (nilai tinggi) dan 27 % sebagai kelompok bawah (nilai rendah).
5. Menghitung dan menginterpretesikan tingkat kesuakaran dan daya pembeda.
6. Menyelidiki kekuatan distraktor.
7. Menyelidiki omit (kesalahan peserta didik dalam memilih option).
8. Menarik kesimpulan dari analisis soal.

BAB VI
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Berbagai upaya telah dilakukan untuk upaya mencapai sukses KBM yang berkualitas. Melelui pendekatan makro, yaitu MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS adalah suatu pendekatan pengajaran yang mengkaji secara utuh konteks belajar mengajar di dalam kelas dalam rangka memahami pengaruh interaksi antara pendidik dan peserta didik, serta pendidik dan peserta didik dengan tugas-tugas kelas dalam kegiatan pembelajaran.
A. Tujuan MBS
1. Peningkatan Efisiensi
Peningkatan efisiensi antara lain diperoleh melalui keleluasaan dalam mengelola masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
2. Peningkatan Mutu
Peningkatan mutu diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalitas pendidik, serta berlakunya insentif dan disintetif.
3. Peningkatan Pemerataan Pendidikan
Dapat diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu.
B. Manfaat MBS
1. Sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru sehingga bias lebih berkonsentrasi pada tugas.
2. Mendorong kepala sekolah bertindak professional dalam perannya sebagai manager dan pimpinan sekolah.
3. Guru didorong untuk berinovasi dengan melakukan berbagai eksperimentasi di lingkungan sekolah.
4. Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan peserta didik dan masyarakat.
C. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan
Faktor-faktor tersebut yang berkaitan dengan :
1. Kewajiban sekolah
2. Kebijakan dan Prioritas pemerintah,
3. Peran orang tua dan Masyarakat,
4. Peranan profesionalisme dan Menajerial
5. Pengembangan profesi.
D. Karakteristik Manajeman Berbasis Sekolah
Karakteristik MBS bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan sumber daya manusia, serta pengelolaan sumber daya dan administrasi.
E. MBS sebagai Proses Pemberdayaan.
MBS merupakan konsep pemberdayaan sekolah dalam rangka peningkatan mutu dan kemandirian sekolah. Kindervatter (1979) memberikan batasan pemberdayaan sebagai peningkatan pemahaman manusia untuk meningkatkan kedudukannya di masyarakat. Peningkatan kedudukan itu meliputi kondisi-kondisi sebagai berikut :
1. Akses
2. Daya Pengikut
3. Pilihan-pilihan
4. Status
5. Kemampuan potensi kritis
6. Legitimasi
7. Disiplin
8. Persepsi kreatif
Kondisi tersebut dapat dipandang sebagai hasil dari proses pemberdayaan. Dengan kata lain pemberdayaan dikatakan berhasil jika pada sasarannya dapat diamati atau dapat menunjukan keadaan permukaan (indikator) diatas. Untuk memahami dan menerapkan MBS sebagai proses pemberdayaan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1. Pemberdayaan berhubungan dengan upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk memegang kontrol (atas diri dan lingkungan).
2. Adanya kesamaan dan kesepadanan kedudukan dalam hubungan kerja.
3. Menggunakan pendekatan partisipatif.
4. Pendidikan untuk keadilan.
F. Konsep Pengajaran
Mengajar adalah menggugah dan membantu terjadinya gejala belajar di kalangan peserta didik. Pengertian mengajar memiliki dua implikasi yaitu sebagai pengajar dan peserta didik. Kebermaknaan pengalaman dalam belajar memiliki dua sisi yaitu :
1. Sisi intelektualitas
Kebermaknaan pada sisi ini dicapai melalui dua proses yaitu proses kognisi dan proses metakognisi. Proses kognisi mengacu pada terasimilasikannya isi pengalaman ke dalam struktur kognisi yang telah ada atau termodifikasinya struktur kognitif untuk mengakomodasikan isi pengalaman yang baru. Dengan kata lain, disamping menangkap pesan kegiatan belajar yang sedang dihayati, siswa juga mambentuk kemampuan untuk belajar.
2. Sisi emosional
Sisi ini mengacu pada rasa memiliki pengalaman itu oleh siswa. Hal ini ditandai dengan adanya rasa bahwa belajar itu merupakan hal sangat penting. Motivasi intrinsik menjadi landasan bagi terbentuknya kemampuan serta kebiasaan belajar mandiri.
G. Pengajaran yang Efektif
Pengajaran yang efektif adalah pengajaran yang mampu melahirkan proses proses belajar yang berkualitas, yaitu yang melibatkan partisipasi dan penghayatan peserta didik secara efektif.
Read More →

makalah munasabah Alqur an

0 komentar

KATA PENGANTAR



Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah seru sekian alam. Shalawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada Rasulullah Rahmat bagi alam semesta, para sahabat, keluarga dan umatnya.
Makalah ini berjudul Munasabah Al-qur’an. Di dalamnya disajikan dari bab I sampai bab III. Bab I yaitu pendahuluan di dalamnya latar belakang, mengambarkan secara umum makalah ini dan tujuan adalah menjelaskan keinginan yang akan dicapai dalam penulisan makalah ini. Untuk Bab II yaitu membahas tentang Munasabah Al-qur’an secara detail, untuk kesimpulan pada makalah ini disajikan pada Bab III yaitu menyimpulkan isi dari makalah ini dan menjawab tujuan.
Makalah Munasabah Al-qur’an ini semoga bermamfaat, terutama bagi penulis dan pembaca pada umumnya.


Lubuk Sikaping, 20 Maret 2012


Penulis,

                       

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Beberapa ahli berbeda dalam mengartikan munasabah namun intinya adalah berarti menjelaskan korelasi makna antara ayat atau antara surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus, rasional ('aqli), persepsi (hassiyl, atau imajinatif (khayali), atau korelasi berupa sebab-akibat,'illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.
Dalam Al-Quran sekurang-kurangnya terdapat delapan macam munasabah, yaitu:
1. Munanbah antar surat dengan surat sebelumnya. As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasbah antar satu surat dengan surat sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempumakan ungkapan pada surat sebelurnnya.
2.  Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya. Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masing-masing, seperti surat Al-Baqarah, surat yusuf, surat An-Naml dan surat Al-Jinn.
3. Munasabah antar bagian suatu ayat. Munasabah antar bagian surat sering berbentuk pola munasabah Al-tadhadat (perlawanan) seperti terlihat dalam surat Al-Hadid ayat 4
4. Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan. Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya rnenggunakan pola ta'kid (penguat), tafsir (penjelas), itiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan).
5. Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi Al-Quran bagi orang-orang yang bertakwa.
6. Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat. Macam munasabah ini mengandung tujuan tujuan tertentu. Di antaranya adalah untuk menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat.
7. Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama.
 8. Munasbah antar-penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan dan Abu Ja'far Ibnu Az-Zubair dalam Munasabahnya, mengatakan, "Tertib ayat-ayat di dalam surat-surat itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa dipersilisihkan kaum muslimin." As-suyuthi memastikan hal itu, katanya, "Ijma' dan nash-nash yang serupa menegaskan, tertib ayat-ayat itu adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi." Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya di mana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau bersabda kepada mereka, "Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya disebutkan begini dan begini, atau letakkanlah ayat ini di tempat anu. Susunan dan penempatan ayat tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan para sahabat kepada kita.
Para ulama bersepakat bahwa Al Quran ini mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari asbab Nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya.

B.     Tujuan
1.      Mengetahui Pengertian dan macam-macam munasabah Al-qur’an
2.      Mengetahui Tertib ayat dan surat
3.      Mengetahui urgensi mempelajari munasabah Al-qur’an.



BAB II
MUNASABAH AL-QUR’AN

A.  Pengertian Munasabah
Kata munasabah secara etimologi, menurut As-Suyuthi bearti Al-  musyakalah (keserupaan) dan al-muqarabah (kedekatan). Az-Zarkaysi memberi contoh sebagai berikut : fulan yunabsi fulan, bearti si A mempunyai hubungan dekat dengan si B dan menyerupainya. Istilah munasabah digunakan dalam ‘illat dalam bab qiyas dan bearti Al-wasf Al-muqarib li Al-hukm (gambaran yang berhubungan dengan hukum). Istilah munasabah di ungkapkan juga dengan kata rabth (pertalian).
Menurut perngertian terminologi, munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut :
1.             Menurut Az-Zarkasyi :
Artinya : Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2.             Menurut Manna’ Al-Qathhthan :
Artinya : Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam sau ayat  atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antar surat (di dalam Al-qur’an).
3.             Menurut Ibn Al-‘Arabi :
Artinya : Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakn ilmu yang sangat agung.
4.             Menurut Al-Biqa’i :
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagiab Al-qur’an, baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.
Jadi munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antara ayat atau antara surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus, rasional ('aqli), persepsi (hassiyl, atau imajinatif (khayali), atau korelasi berupa sebab-akibat,'illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.

B.  Macam-Macam Munasabah
Dalam Al-Quran sekurang-kurangnya terdapat delapan macam munasabah, yaitu:
1. Munanbah antar surat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasbah antar satu surat dengan surat sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempumakan ungkapan pada surat sebelurnnya. sebagai contoh, dalam surat Al-Fatihah ayat 1 ada ungkapan alhamdulilah. ungkapan ini berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 152 dan 186:
Artinya : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. ( QS. Al-Baqarah ayat 152).
Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah ayat 186).
Ungkapan " rabb al-alamin" dalam surat Al- Fatihah berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 21-22:
Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Al-Baqarah ayat 21)
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui. (Al-Baqarah ayat 22).
Di dalam surat Al-Baqarah ditegaskan ungkapan "dzalik Al-kitab la raiba fih". Ungkapan ini berkorelasi dengan surat Ali ‘lmran ayat 3:
Artinya : Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (Ali 'lmran : 3)

Demikian pula, apa yang oleh surat Al-Baqarah diungkapkan secara global, yaitu ungkapan wa ma unzila min qablik, dirinci lebih jauh oleh surat Ali 'lmran ayat 3:
Artinya : Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (Ali 'lmran : 3).
Berkaitan dengan munasabah macam ini, ada uraian yang baik yang dikemukakan Nasr Abu Zaid. la menjelaskan bahwa hubungan khusus surat Al-Fatihah dengan surat Al-Baqarah merupakan hubungan stilistika kebahasaan. Sementara hubungan-hubungan umum lebih berkaitan dengan isi dan kandungan. Hubungan stilistika-kebahasaan ini tercermin dalam kenyataan bahwa surat Al-Fatihah diakhiri dengan doa: lhdina Ashshirath Al-mustaqim, shirath Al-ladzina an'amta alaihim ghair Al-maghdhubi'alaihim wa la adh-dhallin. Doa ini mendapatkan jawabannya dalam permulaan surat Al-Baqarah Alif, Lam, Mim. Dzalika Al-Kitabu la raiba fihi hudan li Al-muttaqin. Atas dasar ini, kita menyimpulkan bahwa teks tersebut berkesinambungan: "Seolah-olah ketika mereka memohon hidayah (petunjuk) ke jalan yang lurus, dikatakanlah kepada mereka: Petunjuk yang lurus yang Engkau minta itu adalah Al-Kitabin"
Jika kaitan antara surat Al-Fatihah dan suratAl-Baqarah merupakan kaitan stilistika, hubungan antara surat Al-Baqarah dengan surat Ali' lmran lebih mirip dengan hubungan antara "dalil" dengan "keraguan-keraguan akan dalil". Maksudnya, surat Al-Baqarah merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai hukum, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara Surat Ali lmran "sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh”. Kaitan antara surat Al-Baqarah dan surat Ali 'lmran merupakan kaitan yang didasarkan pada semacam ta'wil (interpretasi) yang membatasi kandungan Surat Ali'lmran pada ayat ketujuh saja.

2. Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masing-masing, seperti surat Al-Baqarah, surat yusuf, surat An-Naml dan surat Al-Jinn. Lihatlah firman Allah surat Al-Baqarah : 67-71:
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan? Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".  Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada Kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan antara itu, Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya."  Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, Karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan Sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (QS. Al-Baqarah : 67-71).
Cerita tentang lembu betina dalam surat Al-Baqarah di atas merupakan inti pembicaraannya, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain, tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan kepada hari kemudian.
3.    Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah antar bagian surat sering berbentuk pola munasabah Al-tadhadat (perlawanan) seperti terlihat dalam surat Al-Hadid ayat 4:
Artinya : Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian dia bersemayam di atas arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid ayat 4).
Antara kala "yaliju(masuk) dengan kata "yakhruju (keluar), serta kata "yanzilu (turun) dengan kata"ya'ruju(naik) terdapat korelasi pertawanan. Contoh lainnya adalah kata"Al-'adzab' dan Ar-rahmah" dan janji baik setelah  ancaman. Munasabah seperti ini dapat dijumpai dalam suratAl-Baqarah, An-Nisa dan surat Al-Mai'dah.
4.    Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya rnenggunakan pola ta'kid (penguat), tafsir (penjelas), itiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan). Munasabah antar ayat yang menggunaan pola ta'kid yaitu apabila salah satu ayal atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya. Contoh firman Allah:
Artinya : Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al-Fatihah : 1-2).
Munasabah antar ayat menggunakan pola tafsir, apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya. Contoh firman Allah :
Artinya : Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. (Qs. Al-Baqarah : 2-3).
Makna "muttaqin" pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demiklan, orang yang bertakwa adalah orang yang mengimani hal-halyang gaib, mengerjakan shalat, dan selerusnya.
Munasabah antara ayat menggunakan pola i’tiradh apabila terletak satu kalimat atau lebih tidak ada kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat atau di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Contohnya firman Allah pada surat An-Nahl ayat 57:
Artinya : Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki). (QS.An-Nahl  ayat 57).
Kala "subhanahu" pada ayat di atas merupakan bentuk i'tiradh dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak perempuan bagi Allah. Adapun munasabah antar ayat menggunakan pola tasydid apabila satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak di sampingnya. Contohnya firman Allah dalam surat Al-Fatihah ayat 6-7:
Artinya : Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah ayat 6-7).
Ungkapan “Ash-shirath Al-mustaqim"pada ayat 6 dipertegas oleh ungkapan “Shirathalladzina...”. Antara kedua ungkapan yang saling memperkuat itu terkadang ditandai dengan huruf athaf (langsung) dan terkadang tidak diperkuat olehnya (tidak langsung).
Munasabah antar ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui qara'in ma'nawiyyah (hubungan makna) yang terlihat dalam empat pola munasabah: At-tanzir (perbandingan), Al-mudhadat (perlawanan), istithrad (penjelasan lebih lanjut) dan At-takhallush (perpindahan).
Munasabah yang berpolakan At-tanzir rerlihat pada adanya perbandingan antara ayat-ayat yang berdampingan. Contohnya firman Allah pada surat Al-Anfal ayat 4-5:
Artinya : Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia. Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya. (QS. Al-Anfal: 4-5).
Pada ayat kelima, Allah memerintrahkan kepada RasulNya agar terus melaksanakan perintah-Nya meskipun para sahabatnya tidak menyukainya. Sementara, pada ayat keempat, Allah memerintahkannya agar tetap keluar dari rumah untuk berperang. Munasabah antarkedua ayat tersebut di atas terletak pada perbandingan antara ketidaksukaan para sahabat terhadap pembagian ghanimah yang dibagikan Rasul dan ketidaksukaan mereka untuk berperang. Padahal, sudah jelas bahwa dalam kedua perbuatan itu terdapat keberuntungan, kemenangan, ghanimah, dan kejayaan lslam.
Munasabah yang berpolakan Al-mudhadaf terlihat pada adanya perlawanan makna antara satu ayat makna yang lain yang berdampingan. Dalam surat Al-Baqarah ayat 6, misalnya, terdapat ungkapan:
Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (QS. Al-Baqarah : 6).
Ayat ini bebicara tentang watak orang-orang kafir dan sikap mereka terhadap peringatan, sedangkan ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang watak-watak orang mukmin.
Munasabah yang berpolakan istithradh terlihat pada adanya penjelasan lebih lanjut dari suatu ayat. Misalnya dalam surat Al-A’raaf ayat 26 diungkapkan:
Artinya : Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS.Al-A’raaf ayat 26).
Ayat ini, menurut Az-Zamakhsyari, datang setelah pembicaraan tentang terbukanya aurat Adam-Hawa dan menutupnya dengan daun. Hubungan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa penciptaan pakaian berupa daun merupakan karunia Allah, telanjang dan terbuka aurat merupakan suatu perbuatan yang hina, dan menutupnya merupakan bagian yang besardari takwa.
Selanjutya, pola muhasabah takhallush terlihat pada perpindahan dari awal pembicaraan pada maksud tertentu secara halus. Misalnya, dalam surat Al-Araf, mula-mula Allah berbicaara tentang para Nabi dan umat terdahulu, kemudian tentang Nabi Musa dan para pengikutya yang selanjutnya berkisah tentang Nabi Muhammad dan umatnya.
5.    Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya
Dalam surat Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi Al-Quran bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
6.    Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat
Macam munasabah ini mengandung tujuan tujuan tertentu. Di antaranya adalah untuk menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Misalnnya, dalam surat Al-Ahzab ayat 25 diungkapkan sebagai berikut:
Artinya : Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Ahzab : 25).
Dalam ayat ini, Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan, bukan karena lemah, melainkan karenaAllah Maha kuat dan Maha perkasa. Jadi, adanya fashilah diantara kedua penggalan ayat di atas dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut menjadi lurus dan sempurna. Tujuan lain dari fashilah, adalah memberi penjelasan tambahan, yang meskipun tanpa fashilah sebenamya, makna ayat sudah jelas. Misalnya dalam surat An-Naml ayat 80:
Artinya : Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (Tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka Telah berpaling membelakang. (QS. An-Naml ayat 80).
Kalimat “idza wallau mudbirin" merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.
7.    Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama
Tentang munasabah semacam ini, As-suyuthi telah mengarang sebuah buku yang berjudul Marasid Al-Mathali fi Tanasub Al-Maqati ‘wa Al-Mathali’. Contoh munasabah ini terdapat dalam surat Al-Qashas yang bermula dengan menjelaskan perjuangan Nabi Musa dalam berhadapan dengan kekejaman Firaun. Atas perintah dan pertolonganAllah, Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surat Allah menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan janji Allah atas kemenangannya. Kemudian, jika di awal surat dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir. Munasabah di sini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.
8.     Munasbah antar-penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya
Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surat, akan dijumpai munasabah dengan akhir surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya, pada permulaan surat Al-Hadid dimulai dengan tasbih:
Artinya : Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Hadid Ayat 1).
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya. Al-Waqiah yang memerintahkan bertasbih:
Artinya : Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar (QS. AL-Waqiah Ayat 96).
Kemudian, permulaan surat Al-Baqarah:
Artinya : Alif laam miin. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah ayat 1-2).
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat Al-Fatihah
Artinya : (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah ayat 7).

C.  Tertib Ayat Dan Surat

Tertib Ayat
Al-Qur'an terdiri atas surat-surat dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Adapun ayat, ia adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam suatu surat Al-Qur'an. sedangkan surat adalah sejumlah ayat Al-Qur'an yang mempunyai permulaan dan kesudahan. Penempatan secara tertib urutan ayat-ayat Al-Qur'an ini adalah bersifat tauqifi, berdasarkan ketentuan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan dan Abu Ja'far Ibnu Az-Zubair dalam Munasabah-nya, mengatakan, "Tertib ayat-ayat di dalam surat-surat itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa dipersilisihkan kaum muslimin." As-suyuthi memastikan hal itu, katanya, "Ijma' dan nash-nash yang serupa menegaskan, tertib ayat-ayat itu adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi." Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya di mana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau bersabda kepada mereka, "Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya disebutkan begini dan begini, atau letakkanlah ayat ini di tempat anu. Susunan dan penempatan ayat tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan para sahabat kepada kita.
Utsman bin Abi Al-'Ash berkata, "Aku tengah duduk di samping Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya; Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surat ini, 'Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta bersedekah kepada kaum kerabat." (An-Nahl: 90)
Ketika pengumpulan Al-Qur'an, Utsman selalu berada di tempat setiap kali suatu ayat atau surat akan diletakkan di dalam mushaf, sekalipun ayat itu telah mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan, penulisan ayat dengan tertib seperti itu adalah tauqifi.
Kata Ibnu Az-Zubair,'Aku mengatakan kepada Utsman bahwa ayat; 'Dan orang orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri istri...'(Al-Baqarah: 234) telah dimansukh oleh ayat yang lain. Tetapi, mengapa anda menuliskannya atau membiarkannya dituliskan? Ia menjawab, "wahai putra saudaraku, aku tidak mengubah sesuatu pun dari tempatnya'.
Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surat-surat tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika susunannya dapat diubah, tentulah ayat ayat itu tidak akan didukung oleh hadits-hadits tersebut.
Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda'dalam hadits marfu'. "Barang siapa yang hafal sepuluh ayat dari awal surat Al-Kahfi, Allah akan melindunginya dari Dajjal.
Juga terdapat hadits-hadits lain yang menunjukkan letak ayat tertentu pada tempatnya. Umar berkata, "Aku tidak menanyakan kepada Nabi tentang sesuatu lebih banyak dari yang aku tanyakan kepada beliau tentang kalalah (orang yang meninggal, tetapi tidak mempunyai anak dan orang tua), sampai Nabi menekankan jarinya ke dadaku dan mengatakan,'Tidak cukupkah bagimu ayat yang diturunkan pada musim panas, yang terdapat di akhir surat An-Nisaa?.
Disamping itu, banyak juga riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca sejumlah surat dengan tertib ayat-ayatnya dalam shalat atau dalam Khutbah Jum'at, seperti surat Al-Baqarah, Ali Imran dan An-Nisaa'. Juga diriwayatkan secara shahih, bahwa Rasulullah membaca surat Al-A'raf dalam shalat maghrib. Beliau juga membaca surat AIif Lam Mim Tanzil (As-Sajdah) dan Hal ata'alal insan (Ad-Dahr) dalam shalat subuh di hari Jum'at. Beliau pun membaca surat Qaf pada waktu khutbah; surat Al-Jumu'ah dan surat Al-Munafiqun dalam shalat Jum'at.
Jibril senantiasa mengujikan Al-Qur'an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah setiap tahun sekali pada bulan Ramadhan, dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat Al-Qur'an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar di antara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi. Para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.

Tertib Surat
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surat-surat Al-Qur'an yang ada sekarang.
1.        Ada yang berpendapat bahwa tertib surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. Dengan demikian, Al-Qulan pada masa Nabi telah tersusun surat-suratnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada di tangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf Utsman yang tak ada seorang sahabat pun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi ijma' atas susunan surat yang ada, tanpa suatu perselisihan apa pun.
Kelompok ini berdalil bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surat secara tertib di dalam shalatnya. Ibnu Abi syaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa surat mufashshal (surat-surat pendek) dalam satu rakaat. Al-Bukhari meriwayatkan dari lbnu Mas'ud katanya, "Surat Bani Israil, Al-Kahfi, Maryam, Thaha dan Al-Anbiya' termasuk yang diturunkan di Makkah dan yang pertama-tama aku pelajari.' Kemudian ia menyebutkan surat-surat itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Juga Ibnu Wahab meriwayatkan dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata Aku mendengar Rabi'ah ditanya orang, "Mengapa surat Al-Baqarah dan Ali Imran didahulukan, padahal sebelum surat itu diturunkan sudah ada delapan puluh sekian surat Makiyyah, sedang keduanya diturunkan di Madinah?" Ia menjawab, "Kedua surat itu memang didahulukan dan Al-Qur'an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya." Kemudian katanya, "Ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan.
Ibnul Hashshar mengatakan, "Tertib surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya masing-masing itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan, "Letakkanlah ayat ini di tempat ini." Hal tersebut telah diperkuat pula oleh riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma' para sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini di dalam mushaf.
2.        Kelompok kedua berpedapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Igra', kemudian Al-Muddatstsir, lalu Nun, Al- Qalam, kemudian Al-Muzammil, dan seterusnya hingga akhir surat Makkiyah dan Madaniyah.
Adapun dalam mushaf Ibnu Mas'ud, yang pertama ditulis adalah surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisaa', lalu disusul AIi Imran. Sedangkan dalam mushaf Ubay, yang pertama ditulis adalah Al-Fatihah, Al-Baqarah, An-Nisaa', lalu Ali Imran.
Ibnu Abbas menceritakan, "Aku bertanya kepada Utsman, apakah yang mendorongmu mengambil Al-Anfal yang termasuk kategori surat al-matsani dan Bara'ah yang termasuk mi'in untuk anda gabungkan menjadi satu tanpa anda tuliskan bisrnillahir rahmanir rahim di antara keduanya, anda juga meletakkannya pada as-sab'u ath-thiwal (tujuh surat panjang)? Utsman menjawab; Telah turun kepada Rasulullah surat-surat yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa orang penulis wahyu, lalu menginstruksikan, 'Letakkanlah ayat ini pada surat yang di dalamnya terdapat ayat anu dan anu. Surat Al-Anfal termasuk surat pertama yang turun di Madinah sedang surat Bara'ah termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah dalam surat Al-Anfal serupa dengan kisah dalam surat Bara'ah, sehingga aku mengira surat Bara'ah adalah bagian dari surat Al-Anfal. Tetapi nyatanya sampai Rasulullah Shallallahu Alaihiwa Sallam wafat tidak pernah menjelaskan kepada kami bahwa surat Bara'ah merupakan bagian dari surat Al-Anfal. Oleh karena itu, kedua surat tersebut aku gabungkan dan di antara keduanya tidak aku tuliskan bismitlahir rahmanir rahim. Aku juga meletakkannya pada as -sab'u ath-thiwal.
3.        Kelompok ketiga berpendapat, sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat pada masa Nabi. Misalnya, keterangan yang menunjukkan tertib as-sab'u ath-thiwal, aI-hawamim dan al-mufashshal pada masa hidup Rasulullah.
Menurut Ibnu Hajar, "Tertib sebagian surat-surat atau bahkan sebagian besarnya tidak dapat ditolak, bersifat tauqifi. Untuk mendukung pendapatnya ini ia mengemukakan hadits Hudzaifah Ats-Tsaqafi yang mengatakan, "Rasulullah berkata kepada kami; 'Telah datang kepadaku waktu untuk hizb (bagian) dari Al-Qur'an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai. Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah, "Bagaimana kalian membuat pembagian Qu'ran?" Mereka menjawab; Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan bagian al-mufashshal dari Qaf sampai kami khatam.
Kata Ibnu Hajar lebih lanjut, "Hal ini menunjukkan, bahwa tertib surat-surat seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surat pada masa Rasulullah." Dan katanya, "Namun mungkin juga yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufashshal, bukan yang lain. Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surat-surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebahagian sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum Al-Qur'an dikumpulkan secara tertib. Ketika pada masa Ustman Al-Qur'an dikumpulkan, ditertibkan ayat-ayat dan surat- auratnya pada satu dialek, umat pun sepakat, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing.
Sementara itu pendapat ketiga, yang menyatakan sebagian surat itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi; dalil-dalilnya hanya berpusat pada nash-nash yang menunjukkan tertib tauqifi.Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertib ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti yang selain itu adalah hasil ijtihad. Disamping itu, yang bersifat demikian hanya sedikit sekali.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tertib surat-surat itu bersifat tauqifi, seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar bin Al-Anbari menyebutkan, "Allah telah menurunkan Al-Qur'an seluruhnya ke langit dunia. Kemudian Ia menurunkannya secara berangsur-angsur selama dua puluh sekian tahun. Sebuah surat turun karena ada suatu masalah yang terjadi, ayat pun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya. Jibril senantiasa memberitahukan kepada Nabi dimana surat dan ayat tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan surat-surat, seperti halnya susunan ayat-ayat dan huruf-huruf Al-Qur'nn seluruhnya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, barangsiapa mendahulukan sesuatu surat atau mengakhirkannya, berarti ia telah merusak tatanan Al-Qur'an.
Kata Al-Kirmani dalamAl-Burhan, 'Tertib surart seperti kita kenal sekarang ini sudah menjadi ketentuan Allah dalam Lauh Mahfuzh.. Menurut tertib ini pula Nabi membacakan di hadapan Jibril setiap tahun. Demikian juga pada akhir hayatnya beliau membacakan di hadapan Jibril, menurut tertib ini sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir kali turun ialah, “Dan peliharalah dirimu pada hari di mana waktu itu kamu semua akan dikembalikan kepada Allah.' (Al-Baqarah: 281) Lalu Jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini di antara ayat riba dan ayat tentang utang piutang.
As-suyuthi mendukung pendapat Al-Baihaqi yang mengatakan “Surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur'an pada masa Nabi, telah tersusun menurut tertib ini kecuali Al-Anfal dan Bara'ah, sesuai dengan hadits Utsman.

D.  Urgensi mempelajari munasabah Al-Qur’an
Para ulama bersepakat bahwa Al Quran ini, yang dilurunkan dalam tempo 20 tahun lebih dan mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari asbab Nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika tidak ada asbab An-Nuzul, yang lebih utama adalah mengemukakan munasabah. Lebih jauh lagi, kegunaan mempelajari ilmu Munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Dapat rnengembangkan bagian anggapan orang bahwa terna-tema Al-Quran kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya. Contohnya terhadap firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 189:
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS. Al-Baqarah ayat 189).
Orang yang membaca ayat tersebut tentu akan bertanya-tanya: Apakah korelasi antara pembicaraan bulan sabit dengan pembicaraan mendatangi rumah. Dalam menjelaskan munasabah antara kedua pembicaraan itu, Az-Zarkasy menjelaskan:
“sudah diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai hikmah yang jelas dan mempunyai kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, maka tinggalkan pertanyan tentang hal itu, dan perhatikanlah sesuatu yang engkau anggap sebagai kebaikan, padahal sama sekali bukan merupakan sebuah kebaikan”
2.    Mengetahui atau persambungan/hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Quran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3.    Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Quran dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
4.    Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.







BAB III
KESIMPULAN


Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antara ayat atau antara surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus, rasional ('aqli), persepsi (hassiyl, atau imajinatif (khayali), atau korelasi berupa sebab-akibat,'illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.
Macam-macam munasabah yaitu munasabah antar surat dengan surat sebelumnya, munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya, munasabah antar bagian suatu ayat, munasabah antar ayat yang terletak berdampingan, munasabah antar suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya, munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat, munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama, munasabah antar penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
Urgensi mempelajari munasabah Al-quran yaitu dapat mengembangkan sementara anggapan orang yang menganggap bahwa tema-tema Al-quran kehilangan relevansi antara satu bagian dengan bagian yang lainnya, mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian alkuran, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya.







DAFTAR PUSTAKA


Anwar R, 2007. Ulum Al-qur’an. Pustaka Setia. Bandung
El-Masni A.R,. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur.

Read More →